29 Nov 2020

TAFSIR , TA'WIL DAN TERJAMAH

PENGERTIAN


• Tafsir di ambil dari kata Fassara - yufasiru-tafsiran yang artinya keterangan atau uraian.
Tafsir adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.

• Ta’wil adalah menerangkan, menjelaskan. Kata Ta’wil di ambil dari kata awwala-yu’awilu-ta’wilan.
Takwil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.

• Terjamah adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain atau menyalin, mengganti, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Terjamah adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan Bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWT, dengan perantaraan terjemahan.




Perbedaan Tafsir dan Ta'wil


TAFSIR

- Lebih umum dan lebih banyak di gunakan untuk Lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang di turunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
- Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
- Menetapkan Apa yang di kehendaki ayat dan menetapkan seperti yang di kehendaki Allah.
- Menerangkan lafazh, baik berupa hakikat atau majas.


TA'WIL

- Lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang di turunkan Allah saja.
- Menetapkan makna yang di kehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena di dukung oleh dalil.
- Menyelesaikan Salah satu makna yang mungkin di terima suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itu yang dikehendaki Allah.
- Menafsirkan batin lafazh.



Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Sumber-Sumbernya


Tafsir bi Al-Ma'tsur

Tafsir bi al-Ma'tsur (disebut pula bi ar-Riwayah dan an-naql) adalah penafsiran Al-Qur'an yang berdasarkan penafsiran Al-Qur'an itu sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabi'in.


Tafsir bi Ar-Ra'yi

Tafsir bi ar-ra'yi (disebut juga tafsir ad-dirayah)-sebagaimana didefenisikan adz-Dzahabi- adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukumyang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh mansukh.



Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya

• Metode TAHLILI berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabah) dengan bantuan asbab nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw., sahabat, dan tabi'in
• Metode IJIMALI yaitu menafsirkan Al-Qur‟an secara global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makan Al-Qur‟an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai orang yang berpengetahuan luas.

• Metode MUQORIN (perbandingan/komparasi) adalah membandingkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk hadits-hadits yang maknanya tekstual tampak kontradiktif dengan Al-Qur‟an atau mambandingkan Al-Qur‟an dengan kajian-kajian lainnya.

• Metode MAUDHU'I (tematik) sebagaimana diutarakan oleh Syaikh Syaltut, merupakan sebuah metode yang dapat mengantarkan manusia pada macam-macam petunjuk Al-Qur‟an. Harus diketahui oleh siapa saja bahwa tema-tema Al-Qur‟an bukanlah teori semata-mata yang tidak menyentuh persoalan-persoalan manusia.



SYARAT MUFASSIR

- Tidak dengan hawa nafsu semata karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melihat dalil yang ada.
- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan Al-Qur‟an seperti penafsiran dengan Al-Qur‟an kemudian As-Sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi'in
- Paham bahasa Arab dan perangkat-perangkatnya karena Al-Qur'an turun dengan bahasa Arab.
- Beraqidah shahihah karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan Al-Qur'an
- Memiliki pemahaman yang mendalam agar bias mentarjih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nususu syari'ah.
- Paham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan Al-Qur‟an seperti ilmu nahwu (grammar), al-isytiqoq al-ma’ani, al-bayan, ilmu qiroat , aqidah shahihah, ushul fiqh, asbabun nuzul, DLL



ADAB MUFASSIR

1. Niatnya harus bagus hanya untuk mencari keridhaan Allah semata karena seluruh amalan tergantung dari niatnya.
2. Berakhlak mulia agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain.
3. Mengamalkan ilmunya karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan peneriman yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian, dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat.



PERANGKAT MUFASSIR

1. Ilmu bahasa Arab, termasuk didalamnya ilmu Balaghah. Ilmu ini mutlak harus dimiliki oleh mufassir, karena al-Qur’an memakai bahasa Arab.
2. Ulu'm al-Qur’an: asbab al-nuzul, munasabah dan sejenisnya, termasuk ilmu al-Qira’at. Ilmu ini pun mutlak harus dikuasai mufassir.
3. lmu kalam. Terkait ayat-ayat yang membahas tentang teologi, seorang mufassir haruslah menguasai ilmu ini.
4. Ilmu Hadis. Al-Qur’an penjelasnya adalah hadis. Perkara yang global dalam al-Qur’an dirinci dalam hadis.
5. Ilmu al-Muhibah

22 Nov 2020

NASIKH WAL MANSUKH

Makna kata “Nasakh” menurut bahasa :
1. Menghapus atau meniadakan (al-izaalah wal i’daam), yakni menghapus sesuatu atau menghilangkannya.
2. Memindahkan sesuatu yang tatap sama (at-tahwillu ma’a baqaa ‘ihi fi nafsihi), yakni memindahkan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain.
3. Menyalin atau mengutip (an-naqlu min kitaabin ilaa kitaabin), yakni menyalin atau mengutip tulisan dari suatu buku ke buku yag lain.
4. Mengubah dan membatalkan dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya (at-taghyiru wal ibthaal wa iqaamatisyi sya’i maqaamahu), yakni mengubah suatu ketentuan hukum dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada.

Makna kata “Nasakh“ menurut istilah :
1. Nasakh secara umum, yaitu membatallkan hukum yang diperoleh dari nash ( ketentuan dalil ) yang pertama, dibatalkan dengan ketentuan nashnyang dating kemudian.
2. Nasakh secara singkat, yaitu menghapuskan hukum syara’ dengan adanya memakai dalil syara’ juga. 
3. Nasakh secara lengkap, yaitu menghapuskan hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu , dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu akan tetap berlaku.
4. Mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang dating kemudian dari padanya.


HIKMAH NASAKH 

Hikmah nasakh secara umum
• Memelihara kemaslahatan hamba.
• Mengembangkan perkembangan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempuna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak.
• Mencoba mukallaf dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikuti perintah dan meniadakannya.
• Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.
• Untuk menunjukkan bahwa syariat agama islam adalah syariat yang paling sempurna.

Hikmah nasakh tanpa pengganti 
• Hikmah dalam nasakh seperti ini ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia.

Hikmah nasakh dengan ganti seimbang

Hikmah nasakh dengan pengganti yang lebih berat 
• Hikmah dalam nasakh ini ialah untuk menambah kebaikan dan pahala.

Hikmah nasakh dengan pengganti yang lebih ringan 
• Hikmah dalam nasakh ini ialah untuk memberi dispensasi kepada umat manusia agar mereka bisa mengenyam kemurahan Allah SWT.


PENDAPAT ULAMA’ TERHADAP NASIKH WAL MANSUKH AL-QUR’AN

Adapun pengertian al-nask menurut peristilahan (terminologi )sayara’ dapat dijelaskan dengan berbagai pengrtian . namun demikian, para ulama memberikan pengertian yang hampir sama bahwa al-nask adalah “ merubah hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian “( abu Zahra , 1958:185; al-syaukani, t.th: 184;al-zarqani,t.th,11:72; al-qaththan, 1973:232). Nasikh harus datang sesudah manshuk, tidak boleh mendahului ataupun berbarengan turunnya.

Adapun takhshish para ulama’ Hanafi mensyaratkan akan kebersamaan yang khash dan yang’am dalam masalah turunya.

Menurut ijma’ kaum meslimin dan jumhur ulama, masalah nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.

Menurut kaum Nasrani ( sekarang ) masalah nasakh tidak mungkin terjadi menurut akal ataupun menurut pandangan.

Menurut pendirian golongan inaniyah dari kaum yahudi dan pemdiri pendirian abu muslim al-asfihani , masalah nasakh menurut akal itu mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang.


CARA MENENTUKAN NASAKH

Ada kesempatan tegas atau pentransimisian yang jelas dari nabi s.a.w ayau sahabat seperti dalam redaksi hadist : (kuntu nahaitukum’an ziyartil qubuur alaa fazuuruuhaa) dan seperti ucapan anas bin malik dalam kisah ashab bi’r ma’unah (nazala fihim quran qara’naahu hataa rufi’a)

Konsesus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu Mansukh

Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad sahabt itu sendiri . misalkan sahabat itu mengatakan “ ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal , bulan atau tahun sekian , jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu.


TEMPAT NASAKH

Teori Nasikh Mansukh termauk dalam lingkup kajian ilmu ushul fiqh dan ulumul al-Qur’an. Dua bidang ilmu ini sama-sama membicarakan teori Nasikh Mansukh. Dalam bidang ushul fiqh, kajian teori tentang Nasikh Mansukh menduduki posisi bahasan yang cukup penting karena dalam bidang ilmu inilah dijelaskan hukum apa yang masih berlaku dan hukum mana yang telah dicabut pemberlakuan hukumnya atau dibatalkan ketetapan hukumnya. Ulumul al-Qur’an menjelaskan semua seluk beluk al-Qur’an sedangkan ushul fiqh menjelaskan seluk beluk metode penarikan (istinbath) hukum dari satu dalil hukum. Hukum kedua ilmu ini memang tidak dapat dipisahkan.


PEMBAGIAN NASAKH

Pertama , nasakh al-quran dengan al-quran . bagian ini disepakati kebolehanya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengtatakan adanya nasakh . misalnya ayat tentang ‘idah empat bulan sepuluh hari ‘ sebgaimana akan dijelaskan contohnya .

Kedua, naskh al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:

Naskh al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, al- Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad adalah dhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum [jelas diketahui] dengan yang madhnun [diduga].

Naskh al-Qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. 
 
Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya . Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam suatu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an. Dan apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
 
Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
     1. Naskh mutawatir dengan mutawatir
     2. Naskh ahad dengan ahad
     3. Naskh ahad dengan mutawatir
     4. Naskh mutawatir dengan ahad.

Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi perbedaan pendapat seperti halnya naskh al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.

Adapun naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.


NASAKH BERPENGGANTI DAN TIDAK

Nasakh terbagi menjadi nasakh dengan pengganti dan nasakh tanpa pengganti. Bagian yang pertama seperti menasakh menghadap Baitul Maqdis dengan menghadap Ka’bah. Bagian kedua seperti firman Allah SWT “ apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (pada fakir-miskin) sebelum melakukan pembicaraan itu” (QS al-Mujadalah : 12). Terbagi juga dalam nasakh yang penggantinya lebih berat , seperti menasakh bolehnya memilih antara puasa Ramadhan dan membayar fidyah, menjadi ditentukan puasa saja. Allah SWT berfirman : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah”.. sampai firman Allah SWT “Barang siapa diantara kamu hadir dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Dan nasakh yang penggantinya lebih ringan , seperti dinasakhnya firman Allah SWT “ jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahakan dua ratus orang musuh”


Nasakh terbagi menjadi 2 : 

Nasakh tanpa pengganti, contoh: QS al-Mujadalah ayat 12.

Nasakh berpengganti ada 3, yaitu :

1. Penggantinya lebih berat, contoh seperti diatas (menasakh bolehnya memilih antara puasa ramadhan dan membayar fidyah).
2. Penggantinya lebih ringan, contoh ayat tentang mushabarah (sabar dalam perang) diatas.
3. Pengganti yang menyamai, contoh dinasakh menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyah (perbuatan) dalam hadits shahih bukhari muslim dengan menghadap masjidil haram.

15 Nov 2020

MUNASABAH

Munasabah secara bahasa berarti kedekatan/ kesesuaian. Sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Secara bahasa, munâsabah berasal dari bahasa Arab yang mengandung pengertian “kesesuaian”, “kedekatan”, hubungan atau “korelasi”.

ILMU MUNASABAH DAN PANDANGAN PARA ULAMA 

Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad. Artinya, pengetahuan tentang ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabat. Tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Di antara ulama dari zaman klasik sampai zaman pramodern banyak perbedaan pendapat terhadap unsur munasabah dalam Al-Qur’an, yang merupakan salah satu cabang Ilmu Al-Qur’an. Banyak di antara mereka yang sependapat terhadap Ilmu Munasabah, walaupun disisi lain ada beberapa ulama yang bertentangan. Di antara ulama yang bertentangan antara lain; Mahmud Syaltut (1963), Ma’ruf Dualibi, dan Imam Asy-Syaukani (1834 M), Asy-Syathibi (790 H/1388M).

Sedangkan ulama yang peduli dan setuju terhadap unsur Munasabah dalam Al-Qur’an antara lain:

1. Al-Thabari (w. 310 H). 
2. Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H). 
3. Al-Razi (w. 606 H). 
4. Al-Harrali Abu Al-Hasan (w. 637 H). 
5. Al-Gharnathi, Ahmad bin Ibrahim Al-Zubair, Abu Ja’far (w. 708 H) dalam kitab Al-Burhan fi Munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur’an. 
6. Al-Biqa’i (w. 885 H) dalam kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar yang diringkas dalam kitab Dilalah Al-Burhan Al-Qawim Ala Tanasub Al-Qur’an Al-Azhim.
7. Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab Tanasuq Al-Darur fi Tanasub Al-Suwar yang diringkas dalam kitab Asrar Al-Tanziil dan kitabnya yang lain adalah Marashid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqashid wa Al-Mathali’.
8. Syekh Sajaqli Zadah Al-Mursyi (w. 115 H), pengarang kitab Nahr Al-Najat fi Bayan Munasabat Umm Al-Kitab.

FUNGSI DAN FAEDAH ILMU MUNASABAH

Ilmu munasabah sebagai ilmu yang baik ('ilmu hasan), ilmu yang mulia ('ilmu syarif), dan ilmu yang agung ('ilmu 'azhimun). Ilmu munasabah dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kualitas kecerdasan seorang mufassir. Faedah ilmu munasabah :

1. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lain
2. Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain.
3. Membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

SEGI-SEGI MUNASABAH DAN PERTALIAN ANTAR AYAT DAN SURAT

a. Segi sifat
•ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata). 
••الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas).

b. Segi Materi 
• Munasabah antar ayat.
• Munasabah antar surat.

MUNASABAH ANTAR NAMA SURAT DARI SURAT AWAL HINGGA SURAT AKHIR DALAM AL-QUR'AN

1. Munasabah antara surat dengan surat sebelumnya
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
6. Munasabah antar fashilat (pemisah) dan isi ayat
7. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
8. Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya

12 Nov 2020

ASBAB AL-NUZUL


     Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu, meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun Nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al-Qur'an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist. Sedangkan secara terminologi atau istilah, Asbabun Nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.


UNSUR-UNSUR YANG TERKANDUNG DALAM ASBABUN NUZUL 

1. Adanya peristiwa atau pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
2. Adanya tindak lanjut dari peristiwa itu.
3. Adanya obyek yang dituju.
4. Adanya kaitan yang erat antara peristiwa dengan materi ayat al-Qur’an yang diturunkan.
5. Terjadinya pada masa Rosulullah s.a.w. (dalam periode penurunan wahyu).


SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU ASBABUN NUZUL

     Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang sebab-sebab turunya ayat atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Dalam perkembangannya ilmu asbabun nuzul menjadi sangat urgen. Hal ini tak lepas dari jerih payah perjuangan para ulama’ yang mengkhususkan diri dalam upaya membahas segala ruang lingkup sebab nuzulnya Al-Qur’an. Diantaranya yang terkenal yaitu Ali bin Madini, Al-wahidy dengan kitabnya Asbabun Nuzul, Al-Ja’bary yang meringkas kitab Al wahidi, Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang sebuah kitab mengenai asbabun nuzul. Dan As-Suyuthi mengarang kitab Lubabun Nuqul fi Asbab An-Nuzul, sebuah kitab yang sangat memadai dan jelas serta belum ada yang mengarang.


FUNGSI ASBABUN NUZUL

1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
6. Penegasan bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT, bukan buatan manusia.
7. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberi pengertian penuh pada Rasulullah dalam menjalankan misi risalahnya.
8. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an.
9. Seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat aitu harus diterapkan.
10. Mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum.


MANFAAT ATAU FAEDAH MEMPELAJARI ASBABUN NUZUL

1. Memudahkan Pemahaman Ayat
2. Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al Qur'an dapat membantu seseorang dalam memahami kandungan ayat lebih mendalam.
3. Memudahkan Pemahaman Hukum pada Ayat
4. Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al Qur'an juga dapat memberikan pemahaman yang tepat bahwa hukum yang dibawa oleh ayat itu adalah khusus untuk memberi penyelesaian peristiwa atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
5. Memudahkan Penghafalan Ayat
6. Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al Qur'an ternyata dapat membantu memudahkan penghafalan dan pemahaman ayat-ayat. Selain itu, juga dapat melekatkan ayat-ayat yang bersangkutan dalam hati orang-orang yang mendengarnya, bila ayat-ayat itu dibacakan.


MACAM-MACAM ASBABUN NUZUL 

a. Dilihat dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi(Cara dan Gaya menyusun kata)
Yang dipergunakan dalam Riwayat Asbab An-Nuzul 
• Sharih (visionable/jelas) 
• Muthamilah(impossible/kemungkinan) 

b. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Satu Asbab An-Nuzul 
Berbilangnya Asbab an-Nuzul untuk satu ayat (Ta’addud al-Sabab wa Nazil al-Wahid) 
Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud al-Nazil wa As-sabab al-wahid)


LAFADZ DAN UNGKAPAN-UNGKAPAN ASBABUN NUZUL 

     Ada tiga ungkapan yang menunjukan asbabun nuzul suatu ayat. Dua diantaranya dapat dipastikan sebagai asbabun nuzul. Dan satu lainnya tidak secara pasti menunjukkan kepada asbabun nuzul, mungkin asbabun nuzul mungkin juga tidak. Ungkapan itu adalah sebagai berikut: 
a. سبب نزول هذه الأية ( sebab turunnya ayat ini ialah....) Apabila suatu peristiwa didahului oleh ungkapan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu merupakan asbabun nuzul ayat yang disebut sebelumnya. 
b. Tidak menggunakan kata سبب seperti diatas. Akan tetapi, menggunakan ungkapan فنزلت atau فَأَنْزَلَ الله, yang dimulai dengan fa setelah peristiwa dijelaskan. Hal ini tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu juga merupakan asbabun nuzul ayat bersangkutan. 
c. Ungkapan kata yang tidak menggunaakan kata سبب dan juga tidak menggunakanف setelah peristiwa. Akan tetapi, ia menggunakan kata فِي sebelum menjelaskan peristiwa. Hal ini tidak dapat dikatakan asbabun nuzul secara pasti, tetapi ada dua kemungkinan, mungkin asbabun nuzul dan mungkin juga tidak. 
Untuk menentukan peristiwa yang menjadi asbabun nuzul suatu ayat, ungkapan-ungkapan diatas pelu menjadi pertimbangan dan perhatian seorang mufassir. Artinya, seorang mufassir dalam mencari asbabun nuzul suatu ayat hendaklah merujuk kepada peristiwa yang mengandung ungkapan yang terdapat pada poin satu dan dua.